Iklan

Saturday, February 4, 2017

PERSIMPANGAN

Malam menampakkan kepekatan yang mengerikan dengan langit tanpa sinar rembulan dan bintang. Bergelayut mendung menduduki singasananya menunggu waktu untuk menumpahkan seluruh isinya. Burung walet berterbangan menyapa hujan yang mulai akan turun. Bercericit riang memenuhi langit malam ini, mengucapkan salam persahabatan kepada angin dan kepada malam. Bercericit syukur kepada sang pencipta atas berkah hidup indahnya. Hujan rintik-rintik pun berganti menjadi hujan yang sangat deras. Namun tidak berarti angin yang di hembuskannya bernada dingin. Tetap seperti biasanya angin meniupkan hawa hangat bercampur bau tanah kering yang tertimpa air. Tanah yang seharian di timpa panas sang mentari yang terbakar, melepas debu asap berbau tanah ketika tertimpa air sang hujan.

Seorang pemuda duduk terpaku menghalau pandangannya yang terhalang air hujan yang tumpah ruah ke bumi. Setengah berlari menuju kamar kostnya yang terhalang kisi-kisi kayu untuk menghalau sang hujan agar tidak langsung menerpa pintu dan dinding kamarnya. Di biarkan pintunya terbentang setengah terbuka, dengan harapan bisa merasakan udara dingin yang masuk menggantikan hawa panas yang mendekap di dalam kamarnya.

Kembali dia duduk bersila menghadap ke arah luar, seperti menunggu apa yang akan muncul di depan pintu kamarnya. Berkerut keningnya menatap luar kamarnya, seperti memikirkan seperti apa bentuk atau wujud yang akan nanti hadir di hadapannya. Matanya tanpa henti terpaku terus menatap luar, napasnya tampak teratur mengatur irama pikirannya. Menghadirkan suatu nada irama indah yang mengalun pelan menuju ke akal pikirannya, lalu di hadirkan dalam bentuk object-objet maya yang di proyeksikan ke dalam tatapan matanya.

Namun yang hadir tidak seperti yang di harapkannya. Seorang ibu gemuk, dengan rambut terurai, memakai baju tidur hadir tiba-tiba di depan matanya.

"Mas, kost tinggal 3 bulan lagi yah? Syukurlah..., kalau begitu...” seru si ibu sambil tersenyum dan mengelus elus dadanya.

“begini mas. kost an ibu ini sedang sepi, ya cuma mas dan penghuni kamar dekat pintu masuk saja yang paling lama dan betah tinggal di sini. Penghuni yang lain paling cuma satu sampai dengan dua bulan sudah keluar...”sambung si ibu menjelaskan. Tanpa menunggu si pemuda mengeluarkan suaranya, si ibu langsung melanjutkan kembali perkataannya.

"ibu berterima kasih kalau mas merasa nyaman...jangan sungkan-sungkan kalau butuh sesuatu ya mas. ibu kemari cuma mau cek...kok lagi hujan pintu kamarnya terbuka, takut mas ketiduran atau sedang pergi lupa menutupkan pintu. Maaf ya mas mengganggu." Lanjut si ibu sambil masih tersenyum manis dan masi setia berdiri diluar pintu kamar.

Sang pemuda tidak sempat berbicara apapun, namun sang ibu kost pun sudah berlalu pergi. Tampaknya sang ibu cukup puas dengan melihat anggukan dan senyuman sang pemuda saja, yang menganggap bahwa apa yang di bicarakannya dapat di mengerti oleh sang pemuda. Tanpa memikirkan pembicaraan yang terjadi barusan, sang pemuda pun merebahkan badannya ke tempat tidurnya. Sambil kembali menatap ke luar pintu kamarnya. Kali ini ia menatap hanya dengan tatapan kosong. Terlihat hanya gerakan dadanya yang kembang kempis serta menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kencang. Seperti mencoba untuk membuang beban pikiran yang menghantuinya semenjak tadi.

Kamar kost pemuda ini terletak di lantai dua sebuah bangunan bedeng. Bangunan bedeng maksudnya bentuk kamar yang bersusun menghadap sebuah halaman atau langsung menghadap dunia luar. Kebetulan di sepanjang koridor yang membatasi kamarnya dengan dunia luar, dibatasi oleh kisi-kisi kayu. Kegunaannya seperti yang sedang terjadi, dapat menahan hujan ataupun ketika sedang cerah, dapat menahan panas matahari sehingga tidak langsung menghujam ke arah kamarnya. Beruntung karena letaknya di atas, sehingga pemuda tersebut tidak terganggu oleh orang-orang yang lalu lalang di depan kost-annya ini.

Sudah 3 bulan, pemuda ini tinggal di rumah kost ini. Awal mulanya ia mendapat tugas dari kantornya untuk menangani masalah anak cabang perusahaannya di kota ini selama 6 bulan. Namun baru saja 3 bulan, ia merasa seperti terbuang dari kehidupannya, terbuang dari keluarganya, serta terbuang dari perkerjaannya. Merasa bahwa dirinya di tempatkan di daerah ini karena tidak di butuhkan oleh kantor pusat sehingga sengaja membuang dirinya ke luar kota yang jauh. Belum lagi perasaan kangen yang membuncah di dadanya jika ingat anak-anaknya. Anak yang baru berusia 7 tahun “my princess” Dinda dan 4 tahun “si jagoan” Azam, masa di mana sedang manis, nakal dan lucu-lucunya. Pada akhirnya kembali ia merenungkan dan menyesali keputusannya untuk menerima tugas di luar kota.

"Perusahaan saat ini sangat membutuhkan kontrol yang ketat di daerah tersebut, jadi saya harap anda mau menerima tawaran ini,"Jelas sang bos.

“Apa yang saya dapatkan pak, kalau saya menerima tawaran ini?."Tanya sang pemuda.

"Uang kost akan di tanggung perusahaan, transport, sedangkan uang makan sedang saya ajukan, nanti saya usahakan akan diadakan meeting 1 bulan sekali sehingga anda bisa pulang." Jawab sang bos langsung pada tujuannya dan tanpa basa basi.

Pemuda tersebut setuju dan merasa tertantang untuk memperbaiki daerah yang di tugaskan kepadanya. Sebelumnya ia memang sudah tertempa untuk menerima tanggung jawab yang besar. Telah terbiasa menerima tugas dan kepercayaan penuh dari para atasan sebelumnya. Oleh karena itu kepercayaan dari perusahaan ini merupakan tantangan tersendiri bagi dirinya. Namun Tidak ada kontrak atau kertas hitam di atas putih yang jelas. Tidak ada surat tugas yang menegaskan batas-batas tugas atau wewenangnya di kota tersebut.

Pada akhirnya di sinilah ia terdampar dengan penuh luka terkoyak. Hanya tanggung jawab yang bisa menahan dirinya untuk kembali. Tanggung jawab sebagai seorang bawahan yang sedang menjalankan tugas serta tanggung jawab sebagai suami untuk menghidupi keluarganya.

Luka yang terkoyak tersebut di timbulkan oleh janji yang tidak pernah terealisasi. Semuanya atas dasar pengertian dan sukarela karena perusahaan tiba-tiba mengalami krisis financial akibat kenaikan umr (Upah Minimum Regional). Hanya uang kost yang pemuda tersebut dapatkan, uang makan berasal dari uang gajinya sendiri yang tidak cukup karena menghidupi dua dapur, pulang pun memakai uang pribadi setiap bulannya dengan alasan-alasan tertentu. Terkadang ia pun menggunakan uang pribadi untuk setiap pengeluaran dalam masalah kerja.

Saat ini ia sedang mempertimbangkan untuk mundur dari perusahaan ini, dengan pertimbangan alasan keluarga. Anaknya yang kecil sudah sering sakit-sakitan, istrinya pun sering mengeluh karena jauhnya tempat berkerjanya dari rumah. Karena sebelumnya pemuda tersebut yang bertugas mengantar dan menjemputnya di tempat kerjaan. Selain irit juga hemat di waktu. Akibatnya pengeluaran rumah tangga pemuda tersebut pun membengkak. Terkadang mereka di tengah bulan sudah harus mencari pinjaman ke sana kemari untuk menutupi biaya operasional dan makan keluarga. Sungguh ironis, padahal perkerjaan di tangan mereka berdua merupakan perkerjaan yang paling strategis dalam perusahaannya masing-masing.

Ditangan sang pemuda tergenggam handphones dengan isi Short Message System (SMS) yaitu sebuah panggilan kerja di sebuah perusahaan kompetitor. Sedari tadi ia memikirkan masak masak mengenai tawaran yang berada ditangannya. Perusahaan yang memanggilnya merupakan perusahaan yang sudah besar dan ternama. Hanya kerja keras untuk maintenance pencapaian omzet salesnya. Namun perusahaan yang sedang ia geluti sekarang masih berumur 3 tahun. Tidak sedang dalam bangkrut dan aman, namun memang sedang melakukan pembenahan dalam hal kalkulasi untung dan rugi nya operasional sehingga kedepannya perusahaan lebih bisa safe kembali. Peluang yang ia dapatkan jika ia bertahan tentu lebih besar dan terbuka.

Pemuda tersebut mengerti jika ia bertahan dalam suatu badai, tentu kedepannya ia malah lebih kuat dalam menghadapi badai yang lebih besar. Penghargaan yang ia dapatkan pun tentunya akan lebih baik jika ia hengkang dalam keadaan perusahaan profit. Namun ia tidak bisa berlama-lama di tempat seperti ini, mau sampai kapan? Kasihan keluargaku, mereka sangat membutuhkan kehadiran seorang ayah untuk menjadi imam buat mereka.

Pertentangan-pertentangan tersebutlah yang muncul dalam benak pikirannya. Mengganggu tidur di waktu malamnya, mengganggu konsentrasi dan komunikasinya dengan pihak ketiga dalam perkerjaannya. Pandangannya pun masih menerawang keluar pintu kamar, menunggu siapa yang akan mewujud hadir dan menang dalam pertentangan ini. Berharap sang pemenang dapat menarik dirinya keluar dari lingkaran-lingkaran frustasi yang menghinggapinya. Pertentangan itu pun sampai saat ini terus berlangsung, mewujud menjadi bentuk suatu persimpangan jalan.


Suatu persimpangan yang masing-masing arah menuju jalan yang gelap tanpa cahaya. Semuanya masih meraba, semunya pasti ada resiko, semuanya pasti akan berbeda namun dengan kondisi yang sama yaitu harus kerja keras dimanapun berada. Namun semua pilihan yang ada adalah ia harus kumpul bersama keluarganya baik di tempat yang baru atau di tempat yang lama dengan kondisi tawar menawar.. Tapi mungkinkah? Entahlah...hanya gemericit suara burung-burung walet yang melintas cepat menyambar sang ngengat sebagai menu makannya sehabis menikmati segarnya air hujan malam ini. Pemuda itu pun masih tenggelam dalam mencari keputusannya, menatap rintik-rintik hujan yang mulai sedikit demi sedikit reda...berharap ada yang muncul sebagai pemenang didepan pintu kamar dan membawa dirinya kearah mana dia harus melangkah.

Surabaya, Tunjungan Plaza 2011.

No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO