Iklan

Saturday, February 25, 2017

CORETAN BANDIT KECIL

Kembali ke rumah merupakan ritual setiap hari yang menyenangkan bagi seorang ayah sepertiku. Berkumpul bersama anak-anak serta merasakan nyamannya rumah kecil kami. Rumah ku terletak di pinggiran kota Bandung, dengan jarak tempuh antara rumah dan kantorku sekitar 1 jam dengan mengendarai motor maticku. Lumayan jauh menurut teman-temanku, tetapi tidak menurutku. Semuanya aku lakukan dengan senang hati. Sedari dulu aku mendambakan ketenangan tinggal di pinggir kota jika di bandingkan tengah kota yang padat.
Dipinggir kota masih terasa nuansa alam yang sejuk, penduduk yang masih ramah dan mudah bersosialisasi, selain itu lalu lintas yang tidak begitu padat. Sehingga Aku bisa mengajak anak-anakku bermain di taman tengah kompleks perumahan dekat rumahku, merasakan segarnya alam. Karena lalu lintas yang tidak terlalu padat sehingga tidak perlu khawatir jika anakku bermain di luar rumah. Sangat berbeda dengan kondisi di tengah kota. Akses untuk tempat dan kebebasan bermain di luar rumah sangat sulit di dapatkan. Kalaupun ada harus pergi ke Mall, sehingga menurutku mengganggu tumbuh kembang anakku.
Aku sadar kami tinggal tidak di kompleks mewah ataupun elit. Namun yang paling penting lingkungan sekitar masih mendukung tumbuh kembangnya kedua anakku. Kedua anakku dinda dan azam merupakan anak yang hyper aktif. Hal tersebut sudah kami sadari sebagai orang tuanya semenjak mereka kecil. Tidak heran jika masih kecil umur 2 tahun mereka berdua sudah bisa mengoperasikan komputer ayahnya, walaupun tujuannya hanya bermain games komputer.
Dinda anakku yang pertama dan sekarang sudah menginjak usia 7 tahun. Karena hyper aktivenya, semenjak kecil sudah diarahkan untuk belajar menulis. Ia belajar untuk mencurahkan semua apa yang ia lihat, ia rasakan, serta sebagai media untuk menyalurkan imajinasinya. Hal ini sebagai usaha kami orang tuanya untuk meredam sifat hyper aktif menjadi tindakan yang positif. Hal tersebut menurutku penting untuk meredakan emosional sang anak yang kadang-kadang meledak, sehingga menjadi lebih jahil, nakal dan kadang bertindak ekstrem yang dapat mencelakakan orang sekitarnya.
Azam yang menginjak usia 4 tahun sudah mulai diarahkan untuk mengikuti jejak kakaknya. Namun untuk anak seusia tersebut, media gambar serta pengenalan objek yang kami tanamkan. Bukannya anak-anak pada usia tersebut lebih suka menerima sesuatu dalam bentuk gambar bukan? Bahkan di biarkan lepas menggambar apapun yang ia suka. Ya, menggambar...seperti sore hari ini ketika ku tiba bersama istriku dari tempat berkerja.
"Papa, bunda...." teriak serempak bandit bandit kecilku, ketika motorku tiba di depan rumah. Pengasuh anak-anakku menahan azam agar tidak menghalangi motorku yang akan masuk ke garasi rumah. Istriku terlebih dahulu mencium dan memeluk anak-anak, setelah itu giliranku setelah memastikan motor pada tempatnya dan meletakkan helm dan melepas sepatuku. Aku masuk dengan azam di gendonganku sedangkan dinda memeluk dari belakang dan bergelantungan di leherku.
"dasar anak-anak. " Pikirku, walaupun badan lelah tetapi semuanya sirna ketika bertemu kedua bandit kecil ini. Sore ini bandit-bandit kecil ini begitu terlihat sangat manis dan manja yang berlebihan. Biasanya tidak pernah meminta cium ataupun mau mencium, biasanya tidak pernah mau digendong atau memeluk dari belakang. Ritual pulang ke rumah biasanya mereka menyambut dengan heboh dan minta di peluk, setelah itu kabur ke dalam rumah kembali bermain komputer ataupun membaca buku dan menonton televisi.

"Ada yang aneh dengan mereka," "perasaanku mengatakan pasti ada yang dilakukan oleh bandit-bandit kecil ini." Pikir dugaanku.
"Mungkin azam merusakkan komputer kembali, merusakkan pintu lemari es, merobek buku koleksi ayahnya, memecahkan vas bunga, atau seperti kejadian yang terbaru kembali memecahkan jendela " pikirku kembali, sambil mataku menerawang kaca-kaca pintu jendela, namun semuanya masih seperti sedia kala.
Aku sudah berjanji untuk tidak akan pernah marah kepada bandit-bandit kecil ini apapun yang mereka buat. Hal tersebut masih kuanggap sifat alami mereka karena masih anak-anak. Harus di arahkan perlahan-lahan tanpa adanya kekerasan. Itu sudah komitmen kami berdua dengan istriku. Suara berisik aku dan anakku tertawa dan berteriak senang sambil melangkah memasuki rumah, begitu hebohnya. Sekarang baru aku tahu apa yang mereka lakukan....
Istriku dengan tersenyum berdiri di ruang tamu, tersenyum lebar kepadaku lalu melihat azam dan dinda. Aku tercengang melihat semua dinding penuh dengan coretan pensil, crayon bahkan ballpoint. Dari ruang tamu, ruang keluarga, serta kamar tidur.
"Azam bun, dinda pas pulang sekolah sudah begini." Seru dinda merasa tidak mau di salahkan dan merasa tidak mau di hukum akibat perbuatannya.
Kalau menuduh azam tentu saja orang tuanya tidak akan menghukum berat adiknya. Dinda tidak mau jika uang jajannya di potong akibat kesalahannya. Namun ia pasti punya andil karena telah sembarangan meletakkan crayon. Dinda pun lari ke arah buku bacaannya berusaha untuk tidak terlibat pembicaraan mengenai hal tersebut seterusnya. Pengasuh anak ku pun hanya tersenyum, ia memang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sangat melarang jika pengasuhku melarang atau pun memarahi anakku. Biarkan mereka berkembang apa maunya.
"Azam, udah pintar menggambar. Memang ini gambar apa sih sayang?" Tanyaku sambil berjongkok. Azam hanya memandang tangan ku yang menunjuk coretan-coretan di dinding. Memasang ekspresi malu-malu namun tampak serius menjawab pertanyaan ku.
" Ini pah, mau ngegambal kaya teteh dinda.... Ini papa..., bunda, teteh." Kata anakku terbata-bata, tersenyum malu dan sambil duduk di pangkuan sambil memeluk lenganku. Aku pun tersenyum....memandang azam. Lalu mencium keningnya dan membiarkan anakku berlari kembali bermain bersama mobil-mobilan dump truck-nya.
Terhenyak sendirian di ruang keluarga, sambil mencari saluran televisi yang dapat menghiburku malam ini. Istriku sedang menemani anak-anak untuk tidur. Sekali lagi ku pandangi coretan dinding yang berwarna warni di dinding rumahku ini.
"Harus kembali di cat dan azam di belikan papan tulis kecil," pikirku. Ku amati kembali coretan coretan bandit bandit kecilku.
Aku pun tersenyum, teringat beberapa tahun yang lalu ketika aku masih kecil dan duduk di bangku sekolah dasar....
"Aan....kamu ini bagaimana sih, itu kertas atau buku yang terpakai khan banyak," seru ibu memarahiku karena telah mencoret dinding dapur.
"Tunggu ayahmu datang, habis di marahi," lanjut ibuku. Aku pun beringsut takut. Ingat jika ayahku marah, bakalan habis pantatku di pukul olehnya.
Aku pun kabur ke kamar ku dan mengunci pintunya. Berusaha untuk tidur menghindari kemarahan ayahku, tetapi tetap saja sore itu pukulan hadiah ayahku pun mendarat sukses di pantatku.
Namun keesokan harinya pun aku di belikan white board oleh ayahku. Awalnya sangat menyenangkan Namun lama kelamaan membosankan, karena whiteboard hanya bisa menggambar dengan satu warna spidol hitam. Tidak seperti zaman sekarang dimana spidol sudah berwarna warni.
Aku pun berubah selera, mencoret-coret di dalam buku tulis. Aku lebih suka menggambarkan bentuk-bentuk mesin perang dan peperangan di dalam buku tulisku. Selain Menggambar pesawat tempur, tank ataupun kapal laut aku pun gemar Menggambar detail-detail alam, pepohonan ataupun objek benda mati lainnya. Tapi aku belum bisa jika untuk menggambar detail manusia. Semuanya lebih suka ku curahkan dengan menggunakan ballpoint jika di bandingkan dengan alat tulis lainnya. Entah kenapa, aku lebih suka menggambar memakai ballpoint jika di bandingkan dengan pensil, pensil crayon ataupun pensil berwarna lainnya. Menurutku menggunakan ballpoint lebih terlihat nyata, berwarna, dan lebih luwes digerakkan.
Akhirnya kebiasaanku tercium oleh ayahku. Kecurigaannya bermula dengan seringnya aku meminta uang untuk membeli buku tulis baru. Dengan alasan banyaknya catatan dan pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan untuk kegiatan dan tugas sekolah.
Pada akhirnya di suatu hari yang naas, aku pun tertangkap basah sedang asyik mencoret buku tulisku dimalam sebelum tidur. Malam itu pun sukses aku mendapat dampratan serta pukulan lagi di pantatku.
"Laen kali, papa lihat kamu ngegambar yang aneh-aneh di buku tulis, papa patahkan ballpointnya...ingat...buku tulis itu mahal...," seru ayahku.
“Beli teruss...beli teruss...kaya anak orang kaya aja kamu," lanjut ayahku.

Ayahku membina keluarga kami sangat sederhana. Tidak ada yang mewah di rumah kami, semuanya serba sederhana. Namun segala kebutuhan terpenuhi dan masih tampak lebih baik di bandingkan tetangga di sekitar kami. Mengenai kelengkapan dan perabotan rumah tangga baik elektronik maupun bukan seadanya sesuai kebutuhan untuk menunjang kebutuhan rumah tangga kami. Ayah ku pun pintar mengatur alokasi keuangan baik pendapatan maupun pengeluaran. Sehingga memang serba ketat dan teratur. Ya intinya lah agak sedikit pelit lah... Tidak heran jika ia tahu segala hal yang melebihi budget pengeluarannya

Namun hal tersebut selalu terulang dan terulang lagi. Entah kenapa, hasrat dan kegemaranku menggambar menggunakan ballpoint sangat besar sekali. Hingga pada suatu ketika ayahku benar-benar serius terhadap ancamannya. Ia pun marah besar dan benar-benar mematahkan semua ballpoint yang aku punya lalu membantingnya di hadapanku.
"Sekali lagi ketauan papa masih begini. Papa gak akan peduli, biayai sendiri sekolah kamu," seru ayahku dan begitu nyaring di telingaku.

Namun hal tersebut tidak membuatku kapok. Selalu ada waktu untuk mencurahkan kebiasaanku tersebut. Sehingga pada suatu waktu bukuku habis semua. Ayah dan ibuku benar-benar tidak peduli tentang rengekanku untuk membeli buku tulis baru. Setiap pr dan tugas aku selalu meminta kertas ke teman-temanku. Akhirnya guru ku pun curiga dan memeriksa isi tasku. Buku tulisku lengkap namun tidak ada isi yang kosong sama sekali. Semuanya penuh dengan gambar-gambar yang aku buat. Aku pun memberikan alasan kenapa tidak ada buku tulis baru di tasku. Dengan polos aku pun menceritakan duduk permasalahannya. Pada akhirnya Orang tua ku pun di panggil dan di berikan arahan mengenai permasalahanku. Namun...ternyata kedua orang tua dan guruku menjadi sekongkol. Aku di hukum selama satu minggu untuk selalu menulis di papan tulis, berdiri di depan kelas selama pelajaran beliau.
"Duuuh, sengsaranya..."
Aku benar-benar shock atas apa yang aku alami, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku pun berusaha untuk melupakan kebiasaanku. Caranya aku merubah kebiasaanku, setiap belajar menghapal aku pun menuliskannya di kertas ataupun buku bekas. Sehingga tanganku terbiasa yang tadinya menggambar terarah menjadi menulis. Walaupun efeknya malah tulisanku seperti dokter yang menulis resep. Membingungkan bagi orang yang membacanya.
"Masa bodoh dengan penilaian orang, terpenting di saat ujian aku bisa memperlambat tempoku menulis sehingga tulisan ku bisa terbaca." Pikirku saat itu.
Kegemaranku menggambar tidak berhenti begitu saja. Aku masih bisa menuangkan di saat pelajaran seni rupa di sekolahku. Namun hanya seadanya saja, tidak menggebu gebu seperti sedia kala. Keinginanku menuangkan objek gambar ke bentuk lukisan pun sekenanya saja. Tidak ada keinginan untuk mempertajam atau melatih insting seni rupaku lagi. Aku pun hanya sebagai penikmat hasil lukisan-lukisan orang lain dari buku-buku perpustakaan atau referensi-referensi majalah.
Pernah suatu waktu aku minta di belikan kuas dan cat air kepada ayahku namun permintaan tersebut tidak diluluskan. Baru diluluskan ketika memang ada permintaan dari guru sekolahku untuk praktek melukis di kelas. Itu pun aku sudah tidak memiliki keinginan untuk melukis kembali. Waktu senggangku sekarang ku gunakan untuk membaca buku ataupun komik-komik bergambar seperti tin tin, smurf, asterix dan obelix. Ayahku juga mengijinkanku untuk berlangganan majalah bobo. Novel kesenanganku dimasa kecil adalah Wiro sableng dan Pendekar Rajawali sakti...semua bisa kuhabiskan dalam waktu 1 hari untuk membaca 1 buku.
Aku juga menjadi Anggota perpustakaan di kantor Ayahku, Anggota perpustakaan di sekolah sampai anggota perpustakaan daerah. Itu hanya untuk memuaskan hasratku membaca buku. Keseharianku pun tetap seperti biasa, masih bermain bersama teman-temanku, memancing ikan, bermain di kebun dekat hutan di belakang kampung, bermain sepak bola.
Masa kecil yang dibilang menyenangkan buat ku untuk aku kenang kembali. Aku sadari kemauan ayahku yang tidak ingin aku menyukai dunia seni rupa. Membatasi anak untuk berkreasi dengan menggambar akan membuat mereka tidak bisa kreatif dan imajinatif. Di masa kecil pendekatan dengan gambar yang hanya bisa masuk ke dalam pikiran mereka. Termasuk diriku ke tika kecil, imajinasiku tidak terbentuk kalau aku tidak di perbolehkan menggambar. Padahal Imajinasi ini nanti yang akan membawaku berkreasi dan menjadi imajinatif.
Namun akhirnya aku bisa menemukan jalan dan cara lain untuk memuaskan dan menuangkan daya imajinasi dan kreatifku dengan menulis. Untungnya guru-guru di sekolahku bisa membantu diriku untuk menemukan apa yang aku butuhkan di luar rumah. Hal tersebut di support oleh kedua orang tuaku, dengan mengijinkan seluruh akses ke buku-buku untuk memuaskan rasa ingin tahu ku. Dengan dunia yang baru yaitu membaca, memang sangat mengasyikkan. Mungkin karena pada saat itu rasa ingin tahuku sedang sedemikian besarnya.
Namun perasaan ingin menggambar terkadang menghinggapi perasaanku. Aku pun menuangkannya ke dalam bentuk lukisan secara normal. Melalui pensil dan tidak menggunakan ballpoint. Itupun hanya sketsa kasar dan tidak ada keinginan untuk mewarnai ataupun menuangkannya ke dalam bentuk kanvas dan cat air ataupun cat minyak. Seperti yang sudah aku utarakan sebelumnya, pelajaran seni rupa dalam bentuk cat air dan cat minyak serta canvas sudah aku pelajari pada sekolah dasar. Namun perasaan sepeti itu tidak menjadi sesuatu hal yang menyenangkan kembali.
Entahlah....
Apakah karena sudah mempunyai perasaan yang trauma diakibatkan tekanan-tekanan dari orang tuaku yang tidak ingin aku menggambar atau melukis. Para orang tua harusnya jangan takut kalau nanti anaknya menjadi pelukis. Hobby boleh saja tetapi tidak akan menjadi sandaran hidup juga khan kedepannya. Hal tersebut aku sadari ketika aku dewasa dan berkuliah. Sebenarnya didikan orang tuaku tidak pernah aku vonis salah. Mereka yang membentukku seperti ini tetapi karena mereka juga aku bisa menulis, menuangkan isi pikiran kreatifku, selain aku menyukai dunia seni rupa walaupun pada akhirnya tidak bisa melukis. Tidak ku sesali sampai sekarang. Toh sekarang posisiku sebagai orang tua. Aku berjanji tidak seperti ayahku yang keras dalam membina kami anaknya. Tetapi suatu saat orang tuaku bisa berubah dan menyadari kesalahan yang mereka lakukan semasa ku kecil....
Kelas 1-6 sekolah dasar ku lalui dengan sukses. Hingga pada saatnya aku sebentar lagi aku akan menginjakkan kaki di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ujian akhir sudah kami lewati. Seperti biasanya, untuk anak-anak di bangku kelas 6 sebelum pengumuman kelulusan, selama seminggu kami mengadakan Class Meeting. Acara ini semacam pertandingan antar kelas 6, dari 6A-6D. Aku pun mendapatkan bagian berpartisipasi, baik di olah raga maupun pertandingan lainnya, termasuk salah satunya adalah melukis.
Entah apa yang membuat ibu guru Wali Kelas menunjukku. Padahal ketika aku di kelas 2 beliau yang membuatku kapok untuk menggambar di buku menggunakan ballpoint. Di kompetisi tersebut, aku menunjukkan bakatku. Akhirnya aku menjadi pemenang juara umum satu sekolah. Untuk pertama dan terakhir kalinya.
Ayahku tersadar akan kemampuanku. Setelah kejadian tersebut, aku di berikan kebebasan sebesar-besarnya untuk menentukan jalan hidupku sendiri. Terkadang memang orang tua harus di berikan kejutan...setelah mengalami masa di sekolah dasar, aku pun disibukkan untuk kegiatanku menatap masa depanku. Namun menggambar tidak lagi menjadi prioritas utamaku lagi. Masih banyak ternyata dalam kehidupan ini yang menarik untuk di simak dan di pelajari. Kesitulah aku berkecimpung, mendalami hingga menguasai berbagai disiplin ilmu, hingga kini.
Wahai orang tua, anakmu hidup mengharapkan bimbinganmu, tetapi bukan kau batasi langkah dan kemauannya. Suatu saat anakmu juga akan menjadi orang tua dan ia yang akan menentukan bagaimana ia bersikap untuk mendidik anak-anaknya, seperti ayahnya kah atau lebih baik lagi...
Aku tersadar dalam lamunanku, ketika azam tiba-tiba sudah berada disampingku.
"Pah, lagi ngapain?" Tanyanya singkat.

"Lagi mengagumi gambar-gambarnya azam yang didinding," sambil tersenyum dan mengangkat anakku duduk di pangkuanku.

"Kok belum tidur,"tanyaku sambil membelai rambut anakku dan menciumnya.

"Pengen di temenin papah, " jawab azam singkat.

"Itu gambar papah, bunda dan teteh dinda," seru anakku sambil menunjuk coretan di dinding ruang keluarga.

"Bagus ya pah," seru azam kembali.

"Yah, bagus...,"jawabku...

"Memang azam mau jadi apa sih," tanya anakku.

Azam pun bingung, menatap coretan dindingnya kembali, lalu berseru dan mengacungkan tangannya dengan jari telunjuk teracung ke depan.
"mau jadi olang yang bisa buat pesawat," serunya melompat dari pangkuanku dan mengambil mainan pesawat rakit yang baru seminggu di belikan lalu kembali ke hadapanku.

"Bisa telbang, pergi kemana aja, menembak olang yang jahat, dualll dualll, "seru anakku...

Aku hanya tertawa melihat tingkah anakku.

"amienn amieeen," seruku dalam hati, papa akan berusaha di masa yang sulit ini dengan biaya sekolah yang tinggi untuk menyekolahkan mu azam, sampai tercapai cita citamu...

Desember 2012


No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO