Di satu desa terpencil yang bernama Arumnia, terletak di
antara pegunungan berduri, cerita tentang hutan larangan sudah menghilang dari
ingatan penduduk. Namun, sebuah geng anak muda yang terdiri dari tiga orang:
Dika, Lani, dan Yuda, memutuskan untuk menjelajah ke dalam hutan tersebut demi
mencari pengalaman seru dan membuktikan bahwa semua cerita itu hanyalah mitos
semata.
Malam itu, bulan purnama menerangi langkah mereka saat
memasuki hutan. Suara gemerisik daun dan angin yang bertiup lembut memberikan
suasana misterius. “Kau yakin kita harus masuk ke sini, Dika?” tanya Lani,
matanya mencolokkan rasa takut. “Apa semua orang berlebihan soal hantu di
sini?”
“Jangan khawatir, Lani. Itu semua hanya cerita. Mari kita
lihat apa yang ada di dalam,” jawab Dika sambil tersenyum nakal. Yuda yang
sedikit lebih pendiam hanya mengangguk, meskipun keringat dingin membasahi
tengkuknya.
Setelah berjalan beberapa waktu, mereka tiba di sebuah tanah terbuka namun disekelilinginya dipenuhi pepohonan tua. Di tengah tanah terbuka tersebut, terdapat sebuah batu
besar yang terlihat seperti altar. “Tempat apa ini?” tanya Yuda, mengamati batu
tersebut dengan seksama. “Sepertinya ini tempat orang-orang dulu melakukan
ritual,” tambah Dika sambil berjalan lebih dekat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di antara pepohonan.
Mereka bertiga saling berpandangan dengan ekspresi ketakutan. “Siapa itu?”
bisik Lani, suaranya hampir tercekat. Namun, tak ada jawaban. Dari balik
pepohonan, muncul sosok wanita dengan gaun putih panjang, rambut panjang
terurai, dan wajah yang pucat. “Bantu... aku...” bisiknya lemah, suaranya
seperti datang dari dalam kubur.
“Siapa kamu?” tanya Dika dengan suara serak. Sosok itu tidak
menjawab, hanya menatap mereka dengan mata penuh kesedihan.
“Jangan dekati dia!” teriak Yuda, menarik tangan Dika
menjauh. Tetapi Dika sudah terpesona, seolah tak mampu bergerak. “Kami tidak
mau menyakitimu,” katanya, berusaha menenangkan sosok itu.
Wanita itu tiba-tiba mengulurkan tangannya, dan ketika Dika
menyentuhnya, hawa dingin menyentuh tulang-tulangnya. Dalam sekejap, gambaran
mengerikan menjalar dalam pikirannya. Dia melihat orang-orang desa yang dulu
membunuh wanita itu, tuduhan palsu yang membuatnya terjebak dalam hutan ini
selama berabad-abad. Dunia ditutupi kabut kelam, suara jeritan dan tangisan
saling bersahutan.
“Dika!” teriak Lani, membuatnya tersadar dari penglihatan
tersebut. Wanita itu tiba-tiba menghilang dalam seberkas cahaya, meninggalkan
sebuah ukiran di batu besar. Di situ tergambar wajah wanita itu dengan air mata
yang mengalir deras.
“Apa yang kamu lihat?” tanya Yuda, gemetar. Dika
menceritakan semua yang ia alami, dan wajah Lani tampak semakin pucat. “Kita
harus pergi dari sini,” jawabnya panik. Tetapi saat mereka berbalik, jalan yang
mereka lalui hilang, seakan hutan itu menutup diri.
“Kita terjebak!” teriak Yuda, dan suara hantu wanita muncul
kembali. Kali ini lebih kuat, menggema di antara pepohonan. “Bantu aku...
akhirnya... saatnya pembalasan.”
Ketiganya berlari tanpa arah, namun suara itu semakin
mendekat. Mereka merasakan dingin yang menusuk tulang namun tidak dirasakan oleh mereka karena yang terasa adalah rasa takut yang sedemikian hebatnya, berlari dan berlari membuat bulir bulik keringat menetes menjadi satu dengan detak jantung yang terus berdetak kencang. pikiran mereka adalah berlari dan menemukan jalan pulang. Namun mereka berlari terus kembali dan kembali kearah altar, akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti, kebingungan dan putus asa.
"Hantu itu akan melakukan
apapun untuk membebaskan jiwanya." seru yuda terengah engah.
“Bagaimana jika kita kembali ke altar dan berdoa untuknya?”
usul Dika, teringat ukiran di batu. “Mungkin kita bisa membebaskannya.”
Dengan tak ada pilihan lain, mereka kembali ke altar. Dalam
keadaan panik, mereka berdoa dan mengucapkan permohonan untuk membebaskan jiwa
wanita itu. “Kami tidak ingin menyakitimu! Kami meminta maaf!” teriak Lani
sambil terisak.
Seketika, hutan berubah, dikelilingi oleh cahaya terang.
Suara hantu wanita mulai mereda. Dan di hadapan mereka, sosok wanita itu muncul
dengan senyum damai. “Terima kasih,” ucapnya, sebelum akhirnya menghilang
menjadi butiran cahaya, meninggalkan ketiga anak muda tersebut tertegun, pucat pasi dan pingsan tanpa sadar.
Ketika pagi menjelang, mereka menemukan diri mereka di tepi
desa Arumnia, seolah waktu tidak berlalu. Namun, di hati mereka, kenangan itu
terpatri selamanya. Setiap hari, saat lampu-lampu desa mulai temaram, mereka
teringat akan tawa hantu dan betapa kesedihan bisa menyelimuti hati dan jiwa
seseorang sepanjang masa.
Cerita tentang hutan larangan di Arumnia tidak akan pernah
sama lagi. Kini, mereka tahu betapa pentingnya mendengar dan menghormati kisah
yang telah dilupakan. Hantu yang meminta bantuannya kini terlepas dari beban,
dan ketiga sahabat itu pun belajar bahwa kadang-kadang, cerita seram bukan
hanya sekedar mitos, tetapi pelajaran dari masa lalu yang harus kita ingat.
Comments
Post a Comment