Mimpi Yang Tertunda

 

Di sebuah kota yang penuh dengan harapan dan impian, tinggallah seorang pria bernama Budi. Budi bekerja sebagai pegawai rendahan di sebuah perusahaan kecil, dengan gaji yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap bulan, ia harus berjuang keras untuk memanage keuangan agar segala sesuatunya tetap berjalan.

Suatu hari, Budi pulang kerja dengan wajah lesu. Di dalam angkutan umum yang berdesakan, pikirannya berkecamuk memikirkan tagihan sekolah anaknya, Rina, yang kini duduk di kelas 5 SD. Rina adalah satu-satunya harapan Budi setelah kehilangan istrinya setahun yang lalu. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, tetapi upah yang diterimanya terasa semakin tidak mencukupi.

Setibanya di rumah, Budi melihat Rina sedang belajar. Ia mendekati dan duduk di sampingnya.

“Yeayy, Ayah pulang!” sapa Rina dengan suara ceria, meski terlihat sedikit lelah. 

“Ya, nak. Ayah bawa sedikit jajanan. Nanti kita makan bareng ya?” jawab Budi sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan beban pikirannya.

“Yay! Jajanan!” Rina berlari ke dapur untuk mempersiapkan makanan.

Tetapi, saat ia melihat ke lemari, beban itu datang kembali. Sisa uang yang ada hanya cukup untuk membayar uang sekolah bulan depan. Budi menarik napas panjang. Malam itu, mereka makan dengan tenang, tetapi Budi terus menerus memikirkan bagaimana menghidupi mereka berdua. 

Setelah makan, Rina tiba-tiba bertanya, “Ayah, kenapa kita tidak pernah liburan? Teman-teman di sekolah cerita kalau mereka bisa pergi ke pantai.”

Budi merasa tercekik. “Kita… kita akan pergi suatu hari nanti, nak. Ayah sedang berusaha.”

“Kalau begitu, ayah harus kerja keras ya! Rina berjanji akan belajar dengan giat agar bisa membantu ayah!” Rina berkata penuh semangat.

Mendengar itu, hati Budi teriris. Ia tidak ingin membebani anaknya dengan impian yang terlalu tinggi, tetapi ia juga ingin menanamkan semangat berjuang. 

“Rina, apapun yang terjadi, ayah akan pastikan kamu bisa sekolah dan belajar. Itu yang paling penting.”

Hari-hari berlalu, dan situasi keuangan Budi semakin sulit. Ia terpaksa mengambil pekerjaan sampingan meski sudah menguras tenaganya. Suatu malam setelah bekerja lembur, Budi kembali ke rumah dengan tubuh lelah. Rina sedang menunggu di depan rumah.

“Ayah, kenapa pulang larut? Rina khawatir!” tanya Rina dengan cemas.

“Maaf, nak. Ayah ada sedikit pekerjaan tambahan.” Budi menjelaskan sambil memijat kakinya yang pegal.

“Malem ini kita masak bareng ya, Ayah? Rina mau buat telur dadar kesukaan Ayah!” Rina berusaha mengalihkan perhatian ayahnya.

“Baiklah, kamu yang masak, Ayah akan bantu!” Budi tersenyum, sejenak melupakan beban yang menekan.

Namun, saat mereka memasak, Rina tiba-tiba berhenti dan melihat ayahnya dengan tatapan serius. “Ayah, aku tahu Ayah kerja keras untuk kita. Tapi, aku ingin jadi anak yang berprestasi. Aku ingin Ayah bangga.”

Budi terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tekanan hidup dan harapan anaknya saling mengadu. “Kamu sudah membuat Ayah bangga, nak. Cukup dengan belajar dan menjadi anak yang baik.”

Hari-hari berlalu, dan perlahan Rina menunjukkan kemajuan dalam belajar. Namun, Budi semakin terjepit di antara beban finansial dan kebutuhan emosional. Suatu malam, mereka duduk di beranda rumah kecil mereka.

“Rina, kalau ayah tidak bisa membelikanmu buku yang kamu mau…,” Budi mulai, tetapi Rina memotongnya.

“Tidak apa, Ayah. Yang penting adalah kita bisa bersama. Rina tahu ayah sudah berusaha sekuat tenaga,” jawab Rina sambil menggenggam tangan Budi dengan erat.

Budi merasa terharu dan sekaligus hancur. Melihat semangat putrinya, ia tahu bahwa memberikan Rina pendidikan yang baik adalah jalan terpenting meski harus melewati banyak kesulitan.

Dengan tekad bulat, Budi bertekad untuk berjuang lebih lagi, demi Rina dan masa depan mereka. Walau hidup penuh pahit-getir, mereka akan menghadapi semuanya bersama....

Comments

Popular posts from this blog

AAN KECIL “UPACARA BENDERA”

AAN KECIL “BELAJAR RENANG”

AAN KECIL “NAKALNYA BURUNGKU”