Cinta Diantara Tumpukan Sampah


Di sebuah desa bernama Desa Kemandulan, bisa dibilang desa ini adalah salah satu desa terunik di Indonesia. Keunikannya bukan hanya dari keindahan alamnya, tetapi juga dari kebiasaan masyarakatnya yang entah bagaimana, selalu mengabaikan sampah. Setiap sudut desa dipenuhi dengan tumpukan sampah yang membuatnya tampak seperti festival kembang api… yang tidak pernah terjadi.

Suatu hari, saat Joko sedang duduk bersantai di bawah pohon mangga, Siti melintas sambil membawa karung berisi sampah.

 “Lihat, Joko! Ini semua sampah dari luar desa! Kita harus membersihkannya!” ujar Siti semangat.

 “Wah, Siti! Itu bukan sampah, itu karya seni!” balas Joko sambil tersenyum lebar. “Bayangkan, seandainya ada pameran 'Sampah Desa Kemandulan', kita pasti menang!”

 “Joko, bercanda terus. Kita harus lebih peduli pada lingkungan! Coba kamu pikirkan, apa jadinya desa kita kalau terus begini?” Siti mendesak.

 “Jadi, lebih baik kita duduk dan ngobrol sambil memandang tumpukan sampah ini? Sangat indah, kan?” jawab Joko sambil mengedipkan mata.

 Di saat yang sama, Kepala Desa Ucup muncul dengan ide paling “brilian”nya. “Joko, Siti! Aku punya rencana! Mari kita adakan Festival Sampah Kemandulan! Setiap warga bisa membawa sampah mereka, kita bagi menjadi kategori, seperti 'Sampah Terbesar', 'Sampah Tercoreng', dan 'Sampah Terseksis'. Kita bisa mendapatkan sponsor!”

 “Apa!?” seru Siti, geli sekaligus bingung. “Kepala Desa, kita seharusnya membersihkan desa, bukan merayakan sampah!”

 “Jadi, kamu tidak setuju dengan idemu, Siti?” tanya Ucup sambil menggaruk kepalanya.

 “Tidak, saya tidak setuju!” jawab Siti tegas. “Kita butuh solusi, bukan festival!”

 Joko interupsi, “Kenapa kita tidak menggabungkan keduanya? 'Festival Bersih-Bersih!' Kita bisa sambil bersenang-senang dan mengumpulkan sampah.”

 Ucup berpikir sejenak, “Hmm… Bagaimana kalau kita memberi penghargaan kepada yang membawa sampah terbanyak? Pasti seru!”

 “Ya, yah! Dan yang pertama ke tempat sampah bisa mendapatkan hadiah cokelat!” Joko menambahkan sambil tertawa.

 Hari festival pun tiba. Semua warga desa berkumpul dengan karung-karung sampah masing-masing. Joko yang sudah berencana mendapat hadiah cokelat, sengaja mencari tumpukan sampah terbesar untuk dibawa.

 “Siti, lihat! Aku menemukan tumpukan sampah yang sangat besar. Ini pasti akan membuatku jadi juara!” Joko berlagak seolah menemukan harta karun.

 “Joko, itu bukan tumpukan sampah. Itu mobil tua yang dibuang! Kamu memang sangat kreatif,” ejek Siti.

 “Mobil ini mungkin lebih layak jadi karya seni daripada yang ada di museum!” balas Joko, sambil tertawa.

 Warga desa pun terlihat ceria, tapi ketika acara dimulai, tumpukan sampah sepertinya tidak ada habisnya! Di tengah keributan, Kepala Desa Ucup yang mengayunkan sapunya untuk memimpin acara berusaha berbicara, “Warga Kemandulan! Mari kita ingin memenangi hari ini!”

 Tiba-tiba, seorang warga terjatuh ke dalam tumpukan sampah, mengundang tawa semua orang. “Ini tidak termasuk dalam pahlawan kebersihan ya?!” teriak Joko sambil menahan tawa.

 “Jadi, siapa yang akan menang dalam perlombaan ini?” tanya Siti sambil berlari mengumpulkan lebih banyak sampah.

 “Kalau aku, pasti aku! Sampahku adalah senjataku!” Joko menjawab sambil mengacungkan karungnya.

 Setelah berjam-jam berlomba mengumpulkan sampah dan beragam kejadian lucu yang terjadi, akhirnya Joko dan Siti bersaing ketat untuk mendapatkan posisi teratas. Namun, yang mengejutkan, Kepala Desa Ucup memutuskan untuk memberikan penghargaan kepada semua orang.

 “Selamat! Kita semua adalah pemenang!” Ucup berteriak.

“Jadi… kita semua pemenang?” tanya Joko, bingung.

“Ya! Dan kita juga... ehm... berhasil membersihkan desa!” jawab Ucup, terlihat agak canggung.

Semua orang tertawa, masing-masing mengangkat karung sampah dengan bangga. Joko dan Siti pun melihat satu sama lain, tanpa bisa menahan tawa.

“Kalau begini, aku rasa festival ini cukup sukses!” kata Siti sambil tersenyum.

“Ya, sekarang mari kita buat festival pembersihan ini jadi tradisi!” kata Joko sambil mengedipkan mata.

Desa Kemandulan pun akhirnya memiliki tradisi baru: Festival Bersih-Bersih yang selalu dimeriahkan dengan tawa dan ceria, meskipun masih tersisa tumpukan sampah di sudut-sudut desa. Namun, bertahap, kebiasaan positif mulai merayap ke dalam pikiran warga. Setidaknya, bagi Joko dan Siti, hari itu bukan hanya tentang membersihkan desa, tetapi juga cinta dalam tumpukan sampah.


 

Comments

Popular posts from this blog

AAN KECIL “UPACARA BENDERA”

AAN KECIL “BELAJAR RENANG”

AAN KECIL “NAKALNYA BURUNGKU”