Iklan

Monday, October 4, 2021

CERITA PENDEK MENTARI PUN MASIH TETAP TERSENYUM




Pagi  ini langit bergelayut cuaca yang sangat cerah, dengan cahaya matahari menatap tajam ke arah bumi.  Walaupun tajam namun sinarnya menyengat lembut menyapa tubuh tubuh manusia yang berkerumun di pinggir pinggir jalan. Kerumunan tersebut membentuk suatu alur semrawut yang memenuhi sisi sisi jalan. Mereka memenuhi sisi sisi jalan dengan mengendarai sepeda motor dengan beraneka ragam aribut yang dikenakan oleh mereka. Entah apa arti atribut tersebut bagi mereka, namun yang pasti atribut tersebutlah yang membentuk mereka berkumpul menjadi satu memenuhi sisi sisi jalan tempat ini. Atribut tersebutlah yang menyatukan mereka menjadi satu komando, satu tujuan, walaupun banyak di antara mereka sebelumnya tidak merasa bergabung dalam organisasi tersebut. Namun karena hal yang mereka tuntut sekarang menyangkut kesejahteraan mereka di perusahaan tempat mereka berkerja, mau tidak mau mereka pun ikut berkumpul di tempat ini.

“buruh bersatu tak mungkin di kalahkan, rakyat bersatu menuntut kesejahteraan,” hal tersebut yang di dengung dengungkan wagimin kali ini dalam demonya yang pertama kali. Wagimin kali ini ikut rombongan demo buruh menuju wakil rakyat provinsi. Dengan peluh yang mengucur dan tangan yang basah oleh keringat membasahi tangan yang memegang gas motor, wagimin pun dengan penuh semangat mengendarai sepeda motornya mengikuti arah motor teman-teman yang berada di depannya.

“sudah pak, gaji bapak khan udah cukup untuk kita sekeluarga. Jangan ikut-ikutan demo lah. Bapak tidak berpikir kalau setiap karyawan menuntut gaji dua kali lipat, apakah perusahaan bapak sanggup menggaji dengan jumlah begitu. Jangan-jangan nanti ada pengurangan karyawan dan perusahaan lebih baik menggunakan tenaga mesin di bandingkan tenaga manusia, mikir dong pak,” terngiang perkataan istri nya pagi itu ketika ia akan berangkat untuk berdemo.

“kamu perempuan diam saja!” bentak pak wagiman

“tau apa kamu tentang perusahaan, gaji naik kamu juga yang senang dan menikmati. diam saja…urus itu anak kamu,” sambung pak Wagiman sambil menatap melotot kea rah istrinya.

“Bapak harus sadar diri, punya keahlian apa? Sudah di terima berkerja di pabrik sudah syukur Alhamdulillah, tapi kalau begini terus. Pengusaha bisa berpikir dua kali untuk menaikkan gaji karyawan yang tidak ada keahlian….

“kamu bisa diam tidak!” bentak pak Wagiman memotong kalimat yang keluar dari mulut istrinya.  Merasa sudah menampakkan gelagat yang tidak baik, istri Wagiman pun tidak meneruskan perang mulut mereka. Ia pun berlalu ke kamar Anto, untuk membangunkannya.

Tidak lama mereka pun sampai di tempat tujuan. Disana sudah berkumput ratusan orang memakai atribut yang sama. Tujuan mereka satu adalah untuk menggugat anggota dewan rakyat mengumumkan kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) maksimal dua kali lipat dari UMK yang sekarang mereka peroleh. Dengan alasan bahwa kenaikan harga bahan pokok, harga upah yang masih kecil di bandingkan Negara lain, serta dengan alasan kesejahteraan buruh masih jauh dari harapan. Mereka pun meneriakkan yel-yel, bernyanyi serta berorasi dengan penuh semangat.

“man, kamu yakin permintaan gaji ini akan di setujui oleh pemerintah,” teriak teman wagiman yang sedari tadi di bonceng bermotor.

“sangat yakin mo,” seru Wagiman mantap.

“kalau gaji ku naik dua kali lipat, aku akan mengasuransikan kesehatan dan pendidikan anakku mo,” sambung wagiman sambil menatap lurus ke arah orator yang menyerukan bahwa “selama ini Negara Indonesia belum merdeka sama sekali, kita di jajah oleh orang orang yang mengaku pengusaha, di jajah tenaga serta pikiran, untuk supaya mereka mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat namun memberikan gaji kepada buruhnya yang sangat minim sekali. Sedangkan pemerintah kita sama sekali menutup mata akan keadaan ini dikarenakan pemerintah kita sibut untuk memperkaya diri mereka sendiri. Para pengusaha yang notabene kebanyakan orang-orang asing yang mempunyai modal besar menyuap para pejabat dan pemerintah kita dengan peraturan-peraturan yang menguntungkan para pengusaha. Apa yang di dapat para buruh? Jaminan Sosial Tenaga Kerja? Jaminan Kesehatan? Apakah itu cukup? Tidak cukup saudara…saudara…jaminan tersebut pada kenyataan nya selalu di persulit dengan birokrasi yang berbelit-belit,  tidak pernah bisa mengcover para buruh dan keluarga, pantaskah kalau kita meminta lebih dari para pengusaha yang sudah mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat?

Para buruh pun berteriak histeris dengan penuh semangat, menjawab orasi yang penuh berapi-api tersebut. Banyak juga yang menghujat para pejabat-pejabat. Orasi tersebut di tutup dengan lagu-lagu perjuangan yang menggugah semangat para pendemo. Tidak terasa sang mentari yang merekam setiap kegiatan yang ada didepan matanya pun menampilkan sorot sinarnya yang lebih terang dan panas. Namun sang angin mendinginkan suasana panas tersebut dengan membawa angin bulan November yang penuh dengan nuansa sejuk. Hal tersebut menambah suasana yang lebih tenteram di hati para buruh. Lebih tenteram seperti gunung es yang meleleh di tengah lautan biru nan luas. Terlebih lebih keinginan pihak buruh mendapatkan tanggapan positif dari pihak pemerintah dengan menjanjikan negoisasi dengan para pengusaha dan akan mengumumkan segera perubahan UMK secepatnya. Para buruh pun bubar membawa secercah harapan yang tumbuh di hati masing-masing kembali ke perususahaannya masing-masing.

Tidak beberapa lama pun pemerintah daerah memutuskan untuk menaikkan UMK dua kali lipat sesuai dengan permintaan para buruh. Para buruh pun bernyanyi riang dan menanti aplikasi keuputusan tersebut di perusahaan masing-masing. wagiman pun bernyanyi riang, impian untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak pun menghias di depan mata. Dengan gaji begitu besar, wagiman dapat memenuhi harapannya untuk memperbaiki rumah, mengalokasikan gajinya untuk tabungan serta mengasuransikan kesehatan untuk keluarganya serta asuransi pendidikan untuk jenjang yang lebih tinggi pada anaknya. Semangat kerjanya pun meluap tinggi sekali, harapannya untuk berjuang pada perusahaan pun tinggi sekali. Seperti pagi ini, wagiman pun berangkat pagi-pagi sekali, banyak yang ia sudah pikirkan apa yang harus ia lakukan di tempat kerjanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk berkerja sekuat tenaga.

Belum sampai di pintu gerbang perusahaan tempat ia berkerja, ia melihat beberapa truk polisi dan tentara di parker di pinggir jalan menutupi pagar tempat perusahaannya berkerja. Beberapa perkerja yang ia kenal bergerombol di pintu masuk berteriak marah dan memaki. Sementara itu di dalam pagar perusahaannya pun tampak bergerombol polisi dan tentara bertameng siap siaga.

Salah satu teman akrabnya pun tampak terlihat sangat marah. Ia pun mendekati, tampak dari raut wajahnya menampilkan kekesalan yang sangat namun berbaur jadi satu dengan kesedihan yang mendalam tampak dari sorot mata temannya. Sorot mata yang tidak lagi tajam memandang namun sayu penuh kesedihan dengan menahan air mata yang sulit untuk di keluarkan.

“kenapa mo? Tanya Wagiman dengan penuh selidik dan penasaran menatap temannya yang tidak seperti biasanya.

Malmo pun terdiam dan hanya menatap temannya dengan kesedihan yang mendalam dan tidak pernah bisa keluar. Ia hanya menyodorkan dua carik kertas kepada Wagiman. Ia pun membaca kertas tersebut, tampak yang menarik perhatian pertamanya kop surat yang bertanda logo perusahaannya serta tulisan “DAFTAR KARYAWAN YANG DI RUMAHKAN” kata-kata tersebut membuat wagiman berdebar kencang. Tidak sadar tangannya mengeram keras memegang ujung-ujung kertas, matanya pun di dekatkan ke list karyawan yang ada di depannya dengan mempelototi satu persatu nama yang ada. Tertera nama Wagiman, dengan Nomor Induk Karyawan yang persis sama dengan apa yang telah di hapalnya selama 7 tahun. Ia pun kembali memastikan berulang-ulang dan nama tersebut tidak pernah pindah ataupun berubah, begitu nomor induk karyawan masih tetap sama seperti yang ia baca pertama kali.

Ia pun terlemas dan melepas tatapan matanya beralih ke muka temannya Malmo. Tangannya masih tetap meremas kertas yang tadi di bacanya, ia pun menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam,

“tidak mungkin, tidak mungkin dan ini tidak adil, tidak adil dan sangat tidak adil,” berkali-kali gumaman tersebut di ulang ulang sambil matanya menatap nanar setiap orang yang ada di sana serta beralih pandangannya menatap aparat serta gedung pabrik yang sudah ia tempati selama 7 tahun berkerja di tempat tersebut. Tidak ada yang dapat ia lakukan, tidak ada yang harus ia teriakkan, tidak ada yang ia perjuangkan, lambat laun telinganya mendengar dengungan beberapa karyawan yang membaca keras isi surat tersebut “perusahaan secara keuangan tidak mampu untuk membayar gaji karyawan, oleh karena itu ada beberapa karyawan yang dengan hormat di rumahkan. Atas pengabdiannya selama ini perusahaan dengan sangat hormat berterima kasih atas hal tersebut. Untuk masalah ganti rugi akan kembali di bicarakan dan di atur oleh perusahaan dengan segera. Demikian dan terima kasih…

Tidak beberapa lama perusahaan tempat wagiman berkerja pun di tutup secara resmi. Perusahaan tersebut di nyatakan pindah dan memutuskan untuk membuka perusahaan produksinya di Bangladesh. Mungkin rakyat Bangladesh masih banyak yang bisa di bodohi dan diperas keringat serta pikirannya, bukannya hal yang terpenting bagi manusia adalah bisa makan dan hidup berkecukupan walaupun jauh dari mewah,” mudah-mudahan bukan karena alasan tersebut, tapi siapa yang tahu…

Namun yang pasti mentari tetap menyorotkan sinarnya ke bumi ini dan selalu menanti sujud syukur bagi para manusia yang masih menikmati sinarnya yang indah setiap hari. Mentari masih tetap tersenyum di saat sang angin meniupkan wanginya harum bunga yang ia bawa dari lembah serta pegunungan. Mentari masih tetap tersenyum di saat sang angin meniupkan angin nya yang paling keras sekalipun menumbangkan pepohonan yang ada di tepi-tepi laut, pinggir jurang serta lembah terdalampun. Paling pasti pun bersyukur merupakan salah satu sujud dan perwujudan bagi manusia untuk tidak melupakan nikmat Tuhan Yang Maha Esa.

No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO