Iklan

Saturday, October 9, 2021

Aku, burung kutilang dan perkebunan di kampungku



Siapa yang tidak mengenal burung Kutilang. Suaranya yang khas dan merdu serta ekor khasnya yang panjang membuat burun ini di buru oleh penggemar burung. Aku yang masih 10 tahun ini tidak pernah mengerti sama sekali kenapa burung ini digemari. Yang kutahu dari teman temanku adalah bahwa setiap hari minggu di pasar burung selalu ramai diadakan kontes suara burung kutilang yang paling merdu. Sama sekali juga tidak ku mengerti, karena ku pikir suaranya juga sama saja antara burung kutilang satu dengan kutilang yang lainnya. Entahlah, aku juga belum pernah melihat sama sekali pertandingan adu suara burung. Setiap aku menemani ibu ke pasar, ibu ku pasti menolak permintaanku untuk melewati pasar burung.

Alasannya adalah "daerah itu bau dan kotor, banyak penyakitnya," seru ibuku berkelit. Untuk menutup mulutku supaya tidak merengek terlalu lama akhirnya ibu ku pun pasti menjanjikan untuk membeli martabak har kesukaanku.

Martabak ini terbuat dari telur bebek dan di goreng pada pengorengan yang besar sekali. Setelah masak martabak ini di kasih kuah daging bercampur kentang serta sedikit cuka bercampur cabai.

"Hmmm, Enaknya muantabbb banget," seruku. Aku tidak akan bisa menolak jika ibu membelikanku martabak, karena hanya dengan ini keinginanku yang lain pasti lumer di lidahku bercampur dengan enaknya martabak har atau juga di sebut martabak tambi bagi sebagian penduduk Palembang.

Di kampungku, burung kutilang masih hidup bebas di daerah perkebunan dekat kampungku. Seperti sabtu siang ini sehabis pulang sekolah, aku dan teman temanku merencanakan untuk bermain di kebun. Aku menyiapkan joran bambu pancingku, umpan serta ember kecil. Peralatan ini harus selalu di bawa jika untuk tujuan ke kebun. Walaupun memang aku tidak pernah punya lahan kebun di daerah hutan yang baru di buka, namun ada kesenangan tersendiri untuk bermain disana. Sebagian besar teman-temanku muchlis, amir dan jul pun juga tidak mempunyai lahan kebun. Para orang tua kami kebanyakan pedagang dan buruh pabrik di perusahaan pupuk yang terkenal di Palembang ini.

Selain merencanakan untuk memancing, kegiatan kami adalah mencari anak burung kutilang serta membuat perangkap untuk burung puyuh. Kami rasa kegiatan mencari anak burung kutilang tidak berguna dan tidak mengasyikkan sama sekali, namun ada keinginan besar bahwa kami mampu merawat anak burung kutilang. Keinginan tersebut timbul ketika aku dan teman-temanku mendengarkan cerita pak arief kemarin sore. Beliau menceritakan pengalaman dimasa mudanya menemukan lalu merawat anak burung kutilang hingga dewasa. Menurut kabar di kampung kami juga bahwa burung kutilangnya pak arif sangat jinak sekali. Pak arif merupakan salah satu sepuh kampung kami. Beliau merupakan orang tertua yang mendiami kampung setelah di tinggalkan oleh penjajah Belanda. Mendengar cerita pak arif itulah timbul obsesi kecil kami...

Setelah memasuki daerah perkebunan, kami menemukan sebuah sungai kecil yang pas untuk menajur joran. Setelah berebut untuk menajur joran di tempat yang tepat, kami pun bersaing memeriksa rerimbunan batang lengkuas. Kutilang di kebun ini memang paling senang untuk membuat sarang di rerimbunan batang lengkuas. Jadi tidak heran sasaran pertama kali kami adalah rerimbunan batang lengkuas yang tidak jauh letaknya dari sungai kecil tempat kami menajur joran. Tidak beberapa lama kami pun mendapatkan apa yang kami inginkan. Sebuah sarang dengan tiga ekor anak kutilang. Dengan senang hati kami pun berbagi bertiga, aku, muklis dan amir. Sedangkan jul sama sekali tidak berniat untuk memelihara.

"Gak lah, bikin repot saja, aku tak bisa untuk merawatnya nanti malah mati lagi?" Kata jul menolak. Anak burung tersebut aku tempatkan di sebuah kotak kayu kecil yang sengaja aku sediakan dari rumah. Kotak kayu itu aku isi dan di tata dengan rerumputan kering di dalamnya, sehingga sang anak burung nyaman di dalamnya. dengan senang kami pun kembali ke sungai kecil.

"Burung ku akan ku beri nama si manis," seru ku berteriak. amir dan muklis pun berebut untuk menemukan nama yang tepat dan cuku[ keren.

Ketika sudah sampai ditempat masing masing-masing joran, ternyata ikan pun sudah siap menempel di kail kami masing-masing cuma joran muklis yang kurang beruntung. dengan tertawa senang kami pun mengejek muklis yang dengan bersungut sungut memindahkan jorannya untuk menajur di tempat lain.

"Hei, kita belum memasang perangkap untuk burung puyuh," teriak amir.

"Ya benar juga." Seru jul. Jul yang paling ahli memasang perangkap, segera bersiap siap mencari tempat yang pas.

Biasanya kami melacak dengan melihat jejak-jejak kaki burung yang ada di lumpur perkebunan. Kebetulan kami menemukan tempat yang pas. Banyak jejak kaki burung di tempat tersebut. Peralatan untuk menjerat hanyalah sebuah bambu yang bisa di lengkungkan dan ujungnya di ikat dengan tali. Batang buluh bambu tersebut di tanam yang dalam ke tanah, lalu tali yang sudah diikatkan di bambu tersebut di tarik ke bawah. Untuk menahan agar tetap melengkung di tengah tali diikatkan kayu kecil dengan panjang 5 cm, lalu di selipkan ke batang bambu kecil. Batang bambu kecil di tanam di dalam tanah dengan membentuk setengah lingkaran. Tali untuk menjerat dilingkarkan di tanah sekitar tersebut lalu dikasih palang kayu. Jika burung tersebut menginjak palang kayu, palang kayu akan menekan kayu kecil 5 cm tadi lalu akan melepaskan batang bambu dengan bebas naik ke atas. Otomatis tali jerat akan menjerat kaki si burung ketika batang bambu naik ke atas.

Dengan cekatan jul memasang jerat tersebut. Berkali kali dia menguji jerat tersebut supaya dengan beban burung bisa melepaskan kayu kecil 5 cm tersebut untuk naik dan menjerat kaki sang burung. Ketika di rasa siap, kami pun meninggalkan area jerat kembali ke sungai kecil.

"Hei, lihat..." Seru ku, aku menunjuk seekor ular belang sepanjang setengeh meter menghadang perjalanan kami menuju tempat joran. Jul dan amir yang paling takut ular menjerit ketakutan.

"Tenang...tenang," kata muklis. "Ular paling takut kalau kita membawa buluh bambu," sambungnya.

Ia yang kebetulan masih membawa buluh bambu sisa jerat, mengayunkan buluh bambu ke ular tersebut. Benar saja ular itu pun menjauh dari tempat kami dan hilang di antara rimbunnya rerumputan ilalang. Kami pun tertawa lega lalu kembali berjalan menuju sungai tempat joran kami berada. muklis yang dengan pongah menepuk-nepuk dadanya,

"alaaah, sama ular saja takut, "serunya melampiaskan kekesalannya karena sebelumnya di ejek habis habisan.

Area perkebunan ini baru di buka beberapa bulan yang lalu. Sebelumnya daerah ini adalah daerah hutan dengan di tumbuhi ilalang ilalang yang lebat serta rawa-rawa. Wajar di penuhi rawa karena tempatnya tidak jauh dari sungai Musi. Tidak heran masih kami temukan bianatang-binatang melata yang berkeliaran di hutan ini. Sebelumnya memang sudah diingatkan oleh orang tua kami, namun rasa keingin tahuan yang besar sehingga mengalahkan rasa takut kami.

Setiap akhir minggu banyak kami habiskan waktu di kebun luas ini. Kebanyakan kebun-kebun ini pemiliknya berada jauh di kampung sebelah atau bahkan hanya secara iseng berkebun dan di tinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Hal ini terlihat dari kondisi kebun yang tidak terurus ditumbuhi oleh rerumputan liar. Sehingga tidak heran kami sangat leluasa untuk melakukan apapun terhadap kebun-kebun yang tidak terurus. Kami berani untuk mengambil hasil kebunnya seperti nanas, singkong dan ubi jalar. Nanas biasanya kami makan bersama garam, sedangkan singkong dan ubi jalar kami bakar bersama dengan ikan hasil memancing. namun terkadang kami juga menanam di tempat tersebut supaya suatu saat nanti dapat kami petik hasilnya.

Di kebun ini selain kami dapat menikmati hasil kebun orang lain, kami juga dapat menikmati segarnya bermain di air rawa. Kebanyakan airnya bersih dan tidak terlalu dalam sehingga dengan bebas dan tanpa kuatir arus yang deras kami dapat berenang di tengah teriknya panas matahari. Namun kami juga harus berhati-hati terhadap binatang melata liar terutama ular air. untungnya selama kami bermain di kebun ini, belum pernah ada yang celaka di gigit binatang. paling juga di gigit semut hitam atau pun semut geranggang pohon. Selain bermain dengan alamnya kami pun memanfaatkan area kebun sebagai tempat bermain layang-layang yang paling aman selama musim kemarau. Karena anginnya yang kencang serta tidak adanya pohon-pohon yang tinggi serta tiang listrik.

"Aha, teriakku, "udah lima ekor nih..." Seruku memanas manasi teman-temanku. Kebanyakan hasil yang ku tangkap hari ini adalah ikan juaro (ikan ini banyak hidup di rawa rawa, seperti lele mempunyai kumis dan lebih kecil).

"cuit...cuit...cuit..cuit" tiba-tiba kudengar suara tersebut. Suara tersebut kembali berulang. Asalnya dari kotak penyimpanan anak burung kutilang. Suara itu pun juga terdengar di kotak penyimpanan muklis dan amir seperti sambung menyambung dan mempunyai naluri batin yang kuat. Anak burung tersebut terliat mencuap cuap dengan mulut menengadah ke atas. Naluriku mungkin mereka kelaparan.

"Dikasih makan apa ya?," seruku terlihat bingung sambil menatap si anak burung.

"Kasih cacing aja, burung khan biasanya makan cacing," seru muklis.

Kami pun mengaminkan ucapan muklis dan segera mengambil umpan cacing kami. Namun beberapa suap cacing yang kami berikan, anak burung ini masih mencuap cuap juga. Padahal tembolok sang burung sudah menggembung tanda ke kekenyangan. Dengan putus asa, aku pun berembuk dengan teman-temanku.

"lebih baik kita kembalikan saja anak burung ini pada induknya," saran ku.

"Iya, tidak tega juga jika anak burung ini di pisahkan dari orang tuanya, kalau mati kita juga akan berdosa...," seru amir terpotong.

"Aku kan sudah bilang dari tadi, kalian masih gak percaya. Memelihara burung itu repot apalagi mau memelihara anaknya," rentet jul memotong ucapan amir.

"Iyalah, kita kembalikan saja, "seru muklis dengan berat hati dan berjalan ke arah rerimbunan batang lengkuas tempat sarang burung kutilang ini.

Setelah dengan benar meletakkan ketiga anak burung tersebut. Bergegas kami membereskan peralatan kami untuk pulang ke rumah. Hari sudah menjelang sore, dari jauh terdengar sayup sayup suara orang mengaji yang keluar dari pengeras suara mesjid yang menandakan sebentar lagi Salat Magrib. Tidak lupa kami pun mengecek jerat siapa tau mendapatkan hasil, namun belum rejeki karena jerat masih seperti sedia kala. Mungkin esok hari kami akan kembali dan mudah mudahan jeratnya akan mendapatkan hasil.

Sepanjang jalan, aku mendengar suara kutilang mencuit nyaring seakan berteriak kegirangan dari arah rimbunan batang lengkuas. Kegirangan karena anaknya kembali seperti semula ketika di tinggalkan. Ada perasaan bersalah juga sudah berniat mengambil anak burung kutilang padahal induknya masih ada. Aku pun berpikir mungkin akan sama halnya jika aku suatu waktu kehilangan anakku. Sangat sedih dan seakan dunia hilang dari pandanganku sama hal nya seperti sore ini yang sebentar lagi akan tenggelam akan gelapnya malam. Diam diam dalam hati aku berbisik "berjanji tidak akan mengulangi hal yang sedemikian bodohnya."


No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO